Ma… Tuhan itu Siapa?

Fakta I: Anak-anak di usia tertentu tidak merasa nyaman dengan abstraksi yang tak mudah dipahami.

Fakta II: Rasa takjub yang muncul sebagai bentuk respon terhadap kemegahan alam adalah salah satu bentuk pengalaman spiritual yang dapat dialami anak-anak

Kepolosan anak-anak terkadang sanggup membuat kita terheran-heran atau bahkan kehilangan kata-kata. Dari mulut mungil mereka kerap muncul pertanyaan yang tak terduga. Apa jawaban Anda ketika mereka bertanya tentang Tuhan?

Anak dapat diibaratkan seperti filsuf kecil yang penuh rasa ingin tahu dan haus jawaban. Pertanyaannya terkadang sulit dijawab dengan cepat dan ringkas. Sebelum Anda mencoba menjawab pertanyaan anak, pikirkan dulu jawaban Anda karena kemampuan abstraksi anak masih rendah.

Anak-anak di usia tertentu tidak merasa nyaman dengan abstraksi yang tak mudah dipahami.

Begitu kata Harold S. Kushner dalam bukunya yang berjudul When Children Ask About God. Ia menyebutkan bahwa pikiran anak-anak haus akan sesuatu yang nyata, konkrit, jelas. Mereka akan menerjemahkan abstraksi tersebut ke dalam sesuatu yang lebih mudah dicerna.

Saat Anda menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti Tuhan, anak perlu diberi perumpamaan dari pengalaman empiris, yakni berdasarkan hal-hal konkrit yang dialaminya sehari-hari. Sebagai contoh, ketika si kecil bertanya, “Ma, Tuhan itu siapa?” Anda bisa menjawab bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Kemudian beri penjelasan lebih lanjut melalui perumpamaan yang sederhana, misalnya, “Mencipta itu berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Contohnya seperti saat Mama mencampur tepung, gula, dan telur menjadi kue.”

Dalam teorinya mengenai psikologi perkembangan kognitif, Jean Piaget, filsuf sekaligus psikolog perkembangan kelahiran Swiss, menyebutkan bahwa anak usia 2 – 7 tahun sedang berada dalam tahap pra-operasional (pre-operational stage). Pada tahap ini, anak sudah bisa membayangkan wujud benda sekalipun benda tersebut tidak ada di hadapannya. Anak sudah mulai mengerti, bahwa benda yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Contohnya, ketika bonekanya disembunyikan, si kecil tahu bahwa boneka itu ada, tapi tidak bisa dilihatnya.

“Persoalannya, hal itu hanya berlaku pada benda-benda yang pernah dia lihat,” kata Bagus Takwin, SPsi, MHum, Psi, dosen Psikologi di Universitas Indonesia. “Saat menjelaskan tentang konsep Tuhan yang abstrak, berarti konsep itu harus diciptakan di kepala tanpa melihat bendanya. Dan jawaban berupa contoh biasanya cukup ampuh.”

Saat menjelaskan tentang keberadaan Tuhan yang tidak kasat mata, Anda bisa memberi contoh dengan menggunakan perwakilan dari hal nyata yang diketahui anak. Katakan, “Tuhan itu tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Sama seperti angin. Adek bisa merasakan angin tapi tidak bisa melihatnya, kan?”

Tak perlu berbohong
Berhati-hatilah saat menjelaskan sebuah konsep abstrak seperti Tuhan. Anak balita memang belum bisa memahami gagasan filosofis, tapi bukan berarti Anda boleh memberi jawaban sekenanya hanya karena sudah kehabisan kata-kata. Anak bisa mengalami kebingungan karena konsep yang selama ini dipegangnya ternyata berbeda dengan kenyataan.

Boleh jadi Anda takut jika anak tidak mengerti penjelasan yang diberikan. Tetapi, sebenarnya Anda tidak perlu khawatir. Karena daya pikir anak akan terus mengalami perkembangan. “Jadi tenang saja. Begitu perkembangan kognitif anak bertambah, kita beri pemahaman lebih dalam lagi. Jangan takut anak akan begitu terus,” kata Bagus Takwin.

“Tampaknya, dia tidak puas dengan jawaban saya.”
Jika anak tak kunjung merasa puas dengan jawaban yang diberikan, sementara Anda sendiri bingung untuk menjelaskan lebih lanjut, Kushner menyarankan agar Anda jujur memberitahukan soal ketidaktahuan tersebut. Katakan, “Pertanyaanmu sulit. Sudah banyak orang yang berusaha menjawabnya, tapi mereka pun tidak yakin dengan jawaban itu. Mama akan coba menjawab sebisa mungkin, tapi mungkin kamu baru bisa mengerti saat kamu dewasa nanti.” Menurut Kushner, hal ini malah akan mendidik anak mengenai pentingnya mencari jawaban sendiri sehingga mereka bisa belajar lebih banyak mengenai dunia.

Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mencari orang yang Anda anggap cukup kompeten untuk menjawab pertanyaan si filsuf kecil. Atau, Anda juga bisa memasukkan sekolah yang bernapaskan agama. Meski begitu, Anda tetap perlu mencermati kualitas dari sekolah tersebut.

Perkenalan yang Sederhana
Ada cara-cara sederhana untuk memperkenalkan Tuhan kepada filsuf kecil kita. Berikut ini di antaranya:

  1. Kenalkan lewat alam. Ketika menerangkan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, ada baiknya anak turut diperlihatkan pada keindahan alam itu sendiri. Tunjukkan kepadanya tentang matahari yang selalu terbit di timur dan tenggelam di barat. Bawa dia menikmati riak air laut serta sepoi-sepoi angin di tepi pantai. Perlihatkan kepadanya bahwa hanya melalui biji yang berukuran kecil, pohon besar dan kokoh dapat tumbuh. “Rasa takjub yang muncul sebagai bentuk respons terhadap kemegahan alam adalah salah satu bentuk pengalaman spiritual yang dapat dialami anak-anak,” kata Kushner.
  2. Kenalkan lewat cinta. Jika ingin mengajarkan sifat Tuhan untuk membentuk pemahaman anak terhadap kebaikan, salah satu cara yang tepat adalah memperkenalkan lewat cinta yang Anda berikan. “Anak yang dilimpahi dengan cinta dan kepercayaan oleh orangtuanya akan percaya bahwa Tuhan adalah zat yang ada di balik dunia yang ramah dan bersahabat. Nantinya, anak akan memandang dunia secara positif.” tutur Kushner.

“Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah orang tuanya sendiri. Jadi, ketika mengajarkan sifat-sifat Tuhan, kita bisa mengatakan, ‘Mama dan Papa baik kepada kamu, karena mengantarkan kamu ke sekolah, memberi makan dan membelikan pakaian. Nah, Tuhan juga baik, seperti Mama dan Papa tapi Tuhan jauh lebih baik lagi.’”

  1. Kenalkan dengan jalan bercerita. Membacakan cerita-cerita rohani, misalnya kisah para nabi, sebenarnya akan memudahkan anak untuk memahami keberadaan Tuhan. “Anak usia balita memang lebih suka mendengarkan cerita daripada konsep. Dan cerita membantu anak untuk memahami suatu kejadian secara komprehensif,” tutur Bagus Takwin. Hal ini juga diamini oleh Asriani, guru di bagian play group Al-Azhar Syifa Budi, Kemang, Jakarta. “Anak usia tiga tahun lebih mengerti kalau kita bercerita langsung, dibandingkan menonton,” ujarnya. “Sekarang kan ada film-film rohani untuk anak. Tetapi saat menonton, bisa saja pikirannya ke mana-mana. Tapi kalau mendengarkan cerita bersama gurunya, biasanya lebih mengena.”
  2. Kenalkan lewat bakat. Jelaskan kepada anak, bahwa kepercayaan terhadap Tuhan berarti juga percaya serta menghargai kemampuan diri sendiri. Misalnya, saat melihat anak yang gemar menggambar, puji hasil karyanya lalu katakan, “Tuhan menciptakanmu dengan bakat menggambar yang belum tentu dimiliki teman-temanmu. Kamu harus bangga.” Hal ini sebenarnya turut berguna untuk membangun rasa percaya diri. Karena anak merasa Tuhan telah memberinya suatu keistimewaan. Anak pun akan menghargai diri serta mau mengasah kemampuan yang dimilikinya.
  3. Kenalkan lewat doa. Bisa dikatakan inilah salah satu cara dasar untuk mengenalkan Tuhan kepada anak. Ajari anak untuk berdoa dengan cara yang mudah, misalnya sebelum makan atau sebelum tidur. Jika dilatih terus menerus, lambat laun hal ini akan menjadi kebiasaan.

Penjelasan tentang Tuhan adalah langkah awal yang baik jika Anda ingin menerapkan nilai-nilai moral berdasarkan ajaran agama sejak dini. Pendidikan tentang agama akan berlanjut kepada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana harus bersikap baik, sopan, atau bersyukur. Akan lebih baik lagi jika Anda mencontohkan penerapannya sebab anak belajar dari meniru perbuatan orang tuanya. (PT. Nestlé Indonesia bekerja sama dengan Majalah Parents Indonesia)